Memiting Smackdown

Hidup Reza Fadhillah yang baru 9 tahun harus berakhir tragis. Dia tewas setelah jadi bulan-bulanan tiga orang temannya yang meniru aksi pegulat Smackdown. Selain Reza, media massa paling tidak ada 8 anak lain yang menderita luka karena jadi tumbal Smackdown. Semuanya menjadi korban ketika imajinasi anak-anak menuntun mereka menyalin laga ala John Cena.

Kontroversi tayangan Smackdown jadi bukti kesekian bagaimana kalangan televisi kita lebih peduli pada rating daripada tanggung jawab terhadap publik. Selama rating tinggi dan iklan mengalir, stasiun televisi tidak ambil pusing terhadap efek tayangan ke pemirsa. Membodohi?Menyebarkan sirik?Memicu budaya konsumerisme dan potong kompas? Itu collateral damage yang dapat diabaikan selama rating memuncak

Smackdown sejatinya memang hiburan, organisasinya saja menggunakan kata Entertainment. Sebagai hiburan Smackdown dan acara gulat sejenisnya dikemas dengan penokohan, skrip seru, dan aksi dramatis. Masalahnya kemudian acara “hiburan” ini ditonton oleh anak-anak yang memang pada tahap imitasi. Buat anak-anak, meniru tokoh seperti Rey Mysterio yang macho dan berkostum jelas lebih menarik dari mengingat pesan Pak Guru. Pertimbangan semacam ini kan harusnya sudah dipikirkan Lativi ketika memutuskan untuk menayangkan Smackdown di jam ketika anak-anak masih terbangun. Yang terjadi justru Lativi baru memindahkan jam tayang setelah berkali-kali ditegur KPI, itupun termasuk terlambat karena korban sudah berjatuhan dan produk-produk sampingan seperti dvd,vcd, dan kartu bergambar masih digemari anak-anak

Yang bikin kesel adalah dengan korban yang terus bertambah,Lativi masih ngeyel untuk terus menayangkan Smackdown. Padahal korban terus bertambah, pakar pendidikan dan anak-anak sudah protes dmeikian keras, bahkan KPI pun sudah menegur. Dalam kontroversi ini terasa sekali betapa lemahnya kontrol publik kepada stasiun televisi. Pada titik ini orang mungkin akan bicara “publik yang mana?”, tapi rasa-rasanya pasti ada batasan yang disepakati oleh publik tentang mana saja yang dapat dibawa masuk melalui televisi ke ruang keluarga di rumah. Sekarang tinggal bagaimana kontrol publik ini dapat berjalan efektif dan memaksa stasiun televisi berpikir cermat dalam menentukan program mana yang layak ditayangkan

Selama televisi kita tidak mampu menunjukkan tanggung jawabnya dalam memberi kontribusi positif bagi masyarakat, adalah hak publik untuk diberi kemampuan mengontrol apa yang boleh dan tidak boleh hadir lewat layar kaca di ruang keluarga kita.

Timnas Instan ala Bung Nurdin

Gue termasuk orang yang dengan sabar menunggu kapan timnas kita mampu bicara di pentas dunia. Gue berkhayal suatu waktu bisa bareng anak gue menonton friendly match Indonesia vs Brazil di Senayan, memakai kostum timnas dan mengibarkan merah-putih mini sambil ikut bernyanyi Indonesia Raya, berteriak sekerasnya memberi semangat, melakukan standing ovation ketika timnas-yang kalah 3-1 tapi berjuang sepanjang pertandingan-meninggalkan lapangan. Pulang dengan tahu bahwa hari itu anak gue belajar bahwa seperti hidup sepakbola punya kalah-menang, tapi yang paling penting adalah pantang menyerah sebelum peluit akhir berbunyi.

Dengan harapan setinggi langit macam itu, pastinya gue kecewa dengan kondisi sepakbola tanah air hari ini. Timnas senior kita berturut-turut kalah dari Kamerun, Finlandia, dan Vietnam di ajang turnamen BV Cup, gilanya adalah tiga tim itu semuanya tim U-23. Kemudian yang lebih memalukan adalah kabar timnas U-23 yang selama 6 bulan berlatih di Belanda dan menghabiskan duit 28 miliar dihajar telak dua kali berturut-turut oleh timnas U-23 Irak dan Suriah, dan mencatat rekor spesial karena di dua pertandingan itu dua pemain timnas dikartumerah karena pelanggaran bodoh.

Foppe De Haan, pelatih timnas U-23 Belanda yang diminta membantu melatih timnas U-23 selama di Belanda, sudah menjelaskan sebab kenapa timnas berprestasi begitu memalukan. Menurut dia meski memiliki bakat bagus, pemain-pemain Indonesia tidak pernah mengalami pembinaan serius sejak usia dini dan tidak terasah dalam kompetisi berjenjang yang ketat. Dua catatan yang sebenarnya sering juga disampaikan wartawan sepakbola, pengamat, dan mantan pemain-pemain Indonesia yang legendaris. Entah kenapa justru dua hal itu yang sepertinya tidak dilirik sama sekali oleh pengurus PSSI. Pembinaan usia dini tidak jelas grand desainnya dan hanya berjalan bila ada sponsor, sementara kompetisi kita carut-marut, penuh konflik kepentingan, dan sama sekali tidak kondusif bagi pengembangan pemain lokal.

PSSI di bawah Bung Nurdin Halid sepertinya justru lebih memilih cara-cara instan. Proyek mercusuar timnas U-23 di Belanda misalnya, yang hasilnya kita tahu sendiri seperti apa. Yang lebih kontroversial adalah rencana Bung Nurdin melakukan naturalisasi untuk mengisi skuad timnas. Kalau yang dinaturalisasi pemain-pemain muda berdarah Indonesia yang tinggal di luar negeri masih okelah, toh pilihan untuk mempunyai paspor Indonesia dan kemudian membela merah-putih ada di tangan pemuda-pemuda itu. Seperti Camoranesi yang lebih memilih membela Italia, atau Adu yang lebih sreg dengan AS. Masalahnya adalah yang makin mendekati kenyataan adalah rencana naturalisasi empat orang pemain asal Brasil.

Penggunaan pemain naturalisasi di dunia internasional sampai sekarang masih menjadi perdebatan. Banyak yang berpendapat, seperti penggunaan mercenary untuk perang adanya pemain naturalisasi mengaburkan identitas nasional yang seharusnya melekat pada timnas. Kesetiaan dan patriotisme, kalaupun ada, ditentukan oleh bayaran bukan keterpanggilan membela bangsa. Tiadanya identitas nasional ini juga membuat kepemilikan bangsa ini pada timnas jadi rancu. Bayangkan jika keempat pemain itu menjadi starting lineup, yang mengisi setiap lini timnas, masih layakkah disebut timnas Indonesia ?

Lebih bahaya tentunya adalah kenyataan bahwa penggunaan pemain asing tidak akan berdampak positif bagi persepakbolaan Indonesia. Dipakainya pemain asing melecehkan potensi bakat bibit pemain lokal yang gue yakin sebenarnya menunggu perhatian. Selain itu sudah pasti melukai perasaan orang-orang yang, beda dengan Bung Nurdin dan sejawatnya yang menjadikan PSSI tempat mencari duit, dengan tulus mencurahkan perhatiannya bagi kemajuan sepakbola nasional.

Jika saja Bung Nurdin mau sedikit saja belajar dari sepakbola, Bung Nurdin harusnya paham bahwa seperti hidup, sepakbola menghormati keberadaan proses serta sunnatullah hubungan antara hasil dan kerja keras.

Tommy Bukan Pak Giman

Pak Giman(nama samaran) tetangga satu RTku. Rumahnya di pojok lapangan RW sehingga selalu jadi tempat nongkrong anak muda setempat. Kulit gelap dan perawakannya yang gempal membuat Pak Giman dahulu sering menjadi tenaga outsource keamanan di beberapa pabrik di Cimanggis. Seiring usianya yang memasuki paruh baya, Pak Giman semakin kalah bersaing dengan rekan-rekannya yang masih muda dan trengginas. Perlahan tapi pasti, hari-hari Pak Giman sebagai penjaga keamanan pun berakhir.Untuk menghidupi keluarganya, Pak Giman mencari nafkah dengan bekerja serabutan. Kadang membantu nukang di sekitar rumahnya, lebih sering menjadi supir tembak angkot D02.

Tibalah suatu siang di sela gilirannya menarik angkot, Pak Giman berkumpul bersama teman-temannya di warung di pojok terminal. Rokok pun disulut, mengimbuhi kopi hitam dan extra joss. Obrolan ngalor ngidul rasanya masih hambar untuk mengusir pahit kehidupan yang mencekam lidah. Tak lama kartu gaple pun dikeluarkan untuk membunuh lembamnya bosan. Jangan bayangkan taruhan besar ala Genting, yang ada tak lebih dari receh lecek atau sebatang kretek. Inilah sarana pelarian paling ampuh, mengundi nasib sambil menertawakan tak pastinya nasib, Pak Giman sejenak larut dalam lupa.

Tiba-tiba keriaan siang itu dibuyarkan bentakan tegas tiga orang polisi. Penggrebekan! Entah dari mana datangnya tiga aparat penegak hukum itu. Tak mungkin berdalih sementara tanganmu masih memegang kartu, inilah awal mimpi buruk Pak Giman berurusan dengan hukum. Sejak masih di tahanan Polres, sampai akhirnya vonis dijatuhkan, tak terhitung berapa kali Pak Giman diberi “kesempatan” untuk menghentikan putaran roda proses hukum. Tak gratis tentunya, berbilang juta yang alangkah banyaknya buat orang dengan penghasilan tak tetap seperti Pak Giman. Karena tak mampu membayar, Pak Giman akhirnya harus merasakan pengalaman hidup di bui. Lagi-lagi ini tak gratis, tanya saja berapa “biaya administrasi” yang harus dikeluarkan Bu Giman setiap kali menjenguk suaminya di LP. Tebalnya kantong juga sangat menentukan proses “pemasyarakatan” yang harus dijalani Pak Giman di balik terali.

Pengalaman Pak Giman membuat gue ngga heran dengan keistimewaan yang diterima Tommy Soeharto. Pembunuh hakim agung itu menikmati diskon remisi gede-gedean yang menurut seorang pengamat hukum layak masuk MURI. Wajar toh, Tommy kan bukan Pak Giman. Nama belakangnya saja cukup jadi jaminan tidak akan tersentuh derita dunia, hobinya balap, “lembaran skor”nya dipenuhi wanita cantik seperti Nana Gading dan Tata, tak lama selepas penjara salah satu perusahaannya sudah santer disebut sebagai pihak yang akan merenovasi kemudian mengelola blok b,c,d,e Tenabang yang kini dalam polemik. Sekali lagi, Tommy bukan Pak Giman.

Ngga heran juga karena ini bukan pertama kalinya di negeri ini hukum melempem ketika berhadapan dengan kuasa. Mana ada yang percaya waktu Menkeh HAM bilang semua remisis yang diterima Tommy wajar dan sesuai aturan, apalagi yang bicara mulutnya bau amis kesaksian palsu dan tangannya berlumur korupsi KPU. Huuffff, setiap berpapasan dengan ketidakadilan macam begini rasanya kok amarah yang butuh pelampiasan. Sering akhirnya mengkhayalkan solusi-solusi ekstra yudisial untuk para kampret yang berseliweran di negeri ini . Pancung dan pajang kepalanya di dinding istana, atau masukkan mayatnya dalam bangkai kerbau yang ditinggal di lapangan. Rasanya cara-cara ekstrem seperti itu pantas untuk memutus rantai ketidakadilan di negeri ini.

Persetan orang susah karena aku..yang penting aku..sekali lagi…asyik~Bento,Iwan Fals