Omong-omong Sepatu…

Sudah lama sekali tidak menulis di sini jadi sebaiknya mulai kembali dengan topik ringan. Kali ini gue ingin menulis tentang sepatu, benda yang setia menemani langkah kita sehari2. Kebetulan juga beberapa minggu lalu sempat membaca di koran bagaimana industri sepatu lokal hampir habis diserbu made in china.

Seperti terhadap semua benda lainnya, gue termasuk kategori penganut mazhab form follow function. Dasar pertimbangan gue selalu nilai guna benda itu, soal gaya biasanya cenderung yang cocok sama selera gue aja dan bukan karena tren, sementara merk biasanya gue gak ambil pusing.

Pikiran di atas juga berlaku dalam memilih sepatu. Sepatu kerja yang dipakai sehari-hari menurut gue harus:(1) terbuat dari kulit asli sehingga tahan lama dan semakin lama dipakai semakin ngepas di kaki, (2)modelnya klasik sehingga tidak pernah out of date, syukur2 bisa pas banget dengan model yang gue pengen (3)Solnya enak dipakai dan durable untuk dipakai jalan, ngejer bis, dan naik turun KRL ๐Ÿ˜› (4)menutupi mata kaki agar gue terlindungi dari keseleo

Gue gak meragukan kemampuan merk2 seperti Clarks, Geox, atau Rockport dalam memenuhi tuntutan gue di atas. Tapi, nalar ekonomis gue belum bisa menerima harus membayar harga sedemikian untuk sepasang sepatu (at this point I want to remind all female readers to keep their rationales on buying designer’s shoes for themselves, i don’t wanna hear them). Bukankah harga premium porsinya lebih besar untuk membayar brand dan marketing? Apa tidak ada solusi ekonomis bagi sepatu ideal ?

Bayangkan betapa bersyukurnya gue ketika menemukan Doki2Waku2 Shop secara tidak sengaja di Kaskus 2 tahun lalu. Doki2Waku2 ini sebuah workshop di Bandung yang mengerjakan pesanan sepatu custom. Tadinya gue cukup skeptis karena dari nama dan sitenya sepertinya mereka fokus ke pengerjaan aksesoris cosplay. Tapi menjelang berangkat ke OZ, gue penasaran mencari sepatu dengan model yang bisa masuk ke busana formal maupun kasual. Akhirnya gue putuskan untuk mengirim gambar rinci sepasang sepatu merk Clarks yang ada di Zappos.com ke mereka lewat email. Pesan gue sederhana: kulit asli dan ikuti modelnya sedekat mungkin. Ketika sepasang sepatu itu datang ke rumah, mereka dengan sukses membuat gue kaget girang. Kulitnya asli gak perlu diragukan lagi kualitasnya, modelnya mirip sekali sampai detail2nya dengan gambar yang gue kirim, build-nya kokoh dan meyakinkan, dibuat khusus untuk gue seorang, dan yang bikin gue ngga percaya adalah harganya cuma Rp 230ribu saudara-saudara! (gambar sepatu coklat yang di kiri).

Terlanjur jatuh cinta, sepulang dari OZ gue kembali memesan sepasang sepatu untuk kerja. Kali ini yang jadi model adalah sepasang Chuck Taylor special edition, dan sekali lagi Doki2Waku2 tidak mengecewakan gue. Gue jadi bisa kerja dengan sepasang sepatu yang sangat nyaman karena atasnya kulit sementara solnya menggunakan sol converse (sepatu yang kanan). Oh ya hal lain yang gue juga salut dari mereka selain produknya adalah mereka gak cerewet banyak tanya tapi sangat komunikatif mengenai opsi improvisasi yang mereka miliki. Contoh, untuk si converse mereka sempat menanyakan apakah gue mau sol yang kualitasnya sama dengan converse atau mau yang di bawah itu. Produk top, service top…kurang apa lagi coba ?

Udah ah nanti dikira gue yang punya lagi tuh bengkel sepatu ๐Ÿ™‚

Seminggu untuk Selamanya (Insya Allah)


Apakah Aresto akhirnya bertemu dengan si dia? Siapakah si dia yang menunggu di tikungan? Akankah cerita ini berakhir bahagia? Temukan jawabannya di akhir posting ini:P

Bagian dari kebetulan yang sempat disinggung di posting terakhir adalah peluang gue untuk bertemu dia minggu terakhir bulan Desember. Dia ternyata ada jadwal untuk proyek di Indonesia selama dua minggu terakhir tahun 2010, mendengar informasi ini gue langsung mengubah jadwal kepulangan meskipun harus menambah ongkos sedikit. Ada windows of opportunity, bakal nyesel kalo gue tidak bisa memanfaatkan ๐Ÿ™‚

Hmm walaupun sebenarnya sudah kenal sejak kuliah, tetap saja tanggal 26 Desember kemarin adalah kali pertama gue dan dia bertemu lagi sejak 5-6 tahun lalu. Syukurlah hari pertama berlalu cukup baik. Dengan segala awkwardness yang menempel, gue dan dia makan siang bareng, bertukar oleh2, dan menonton musikal Laskar Pelangi. Bagian paling penting di hari itu adalah kesempatan gue untuk pertama kalinya memperkenalkan diri ke kedua ortunya. Sesuatu yang belakangan gue denger cukup mengejutkan papanya, karena tidak mengira putrinya tiba2 mengenalkan seorang cowok ๐Ÿ™‚

Dua-tiga hari berikutnya kami seperti melakukan airport test. Tahu kan? Pertemuan dan interaksi untuk menguji apakah kita bisa tahan menghabiskan waktu 12 jam dengan seseorang jika terpaksa harus terdampar di sebuah airport asing. Tentu saja jangka waktu yang jadi pertimbangan saat itu bukan sekadar 6-12 jam, tapi the rest of our lives ๐Ÿ™‚

Selain memberi kesempatan diri kami melakukan decision process, hal yang sangat penting tentunya adalah rasa nyaman dengan keluarga masing-masing. Kita berdua sadar, kalau proses melebur itu akan terjadi, bukan hanya melibatkan dua orang, tapi dua keluarga besar. Alhamdulillah, dari pertemuan yang jumlahnya sangat sedikit rasanya kami punya kesan positif tentang keluarga pihak lain. Begitu juga antar keluarga terasa tidak ada hal serius yang mengemuka jadi ganjalan.

Sejak bertemu pertama kali di hari Senin, gue sudah mengungkapkan niat gue yang sudah memutuskan untuk meneruskan proses sejauh memungkinkan selama seminggu itu. Alhamdulillah, semuanya terasa lancar dan di malam tahun baru gue mengungkapkan niat gue untuk meminang dia ke kedua orang tuanya. Malam itu gue mengungkapkan cerita bagaimana cerita terjalin antara gue dan dia, keyakinan bahwa dia partner yang tepat untuk membentuk keluarga yang akan jadi unit terkecil perubahan masyarakat, dan janji kami berdua untuk insya Allah bisa saling menghebatkan. Setelah mendapatkan jawaban ya dari dia dan keluarganya, hari Minggunya gue datang lagi dengan keluarga untuk acara lamaran formal kecil-kecilan. Senin malamnya dia sudah harus terbang lagi ke Inggris dan baru bisa kembali menjelang pernikahan kami yang direncanakan insya Allah bulan Oktober.

Mereka yang mendengar cerita kami biasanya berkomentar tentang cepatnya proses yang kami jalani. Tapi, percaya deh buat kami yang mengalami ini proses panjang yang sebagian kami timbang dengan rasional, di bagian lain kami coba dengarkan kata hati, dan sebagian besar kami serahkan kepada Yang Maha Berkehendak. Buat kami proses ini masih jauh dari selesai, jalan masih sangat panjang dan berbagai kompleksitas pasti menunggu. Hmmm yang jelas kami yakin berdoa dan berusaha adalah syarat keajaiban dan kemudahan. La hawla wala quwwata illa billah, hasbunallah wa ni’mal maula wa ni’man nashir.

Oh ya tentang siapa dia, coba cermati nama yang tiba2 gue mention di posting gue belakangan ๐Ÿ˜‰ Doakan kami yah…

I Went Down Under! Part 6 – Moving On

Rasanya baru kemarin mengungkapkan sedikit kecemasan karena akan melanjutkan kuliah di CMU, sekarang gue sudah menyelesaikan S2 di CMU dan akan segera kembali ke Indonesia. Benar juga kalau ada yang bilang semua hal itu lebih terkesan menakutkan ketika belum dijalani dan seringkali kita yang underestimate kemampuan diri kita untuk menghadapi tantangan. Gue tak henti bersyukur bisa bilang setidaknya gue udah berusaha maksimal dan mendapat hasil sesuai usaha gue itu.

Satu hal yang pasti ini benar2 tahun luar biasa buat gue. Pertama jelas seluruh pengalaman melanjutkan kuliah di CMU yang memberi kesempatan gue belajar banyak di lingkungan asyik penuh interaksi dengan orang2 luar biasa. Sekali lagi hanya bisa bersyukur dan kalaupun ada penyesalan adalah apabila ada peluang yang tak termanfaatkan optimal untuk belajar lebih banyak. Di luar urusan mendapat gelar master tadi, masih banyak alasan lain yang bikin bersyukur. Merasakan khidmatnya life changing experience di Ramadhan paling indah seumur hidup, bisa me-refresh silahturahmi dengan sahabat2 lama justru di saat jauh :P, dan ehem….menemukan cinta di tikungan ๐Ÿ™‚

Cinta? Yup, gue sangat jarang sekali menulis dengan tema perasaan yang satu itu di sini. Sampai ada pembaca setia yang mengeluh ๐Ÿ˜› (and i know my boring language doesn’t help either). Well, kali ini sepertinya cinta itu perlu dibahas sendiri setidaknya dalam satu dua paragraf. Dia spesial karena pertama terasa sangat serendipitious. Sebelum ada yang interupsi, gue tau salah satu kelemahan manusia itu suka membangun kebetulan jadi satu narasi besar. Tapi, di sisi lain rasanya hidup terlalu “menarik” untuk dibilang serba kebetulan. Nah, untuk kasus gue…gue merasakan bagaimana rangkaian kejadian bergulir setelah gue berdoa serius soal pasangan hidup. Jujur aja selama ini gak pernah berdoa soal itu ๐Ÿ™‚ Hingga tiba di satu titik di mana kok capek ya sendirian….butuh seseorang untuk berbagi yang bisa saling menguatkan di level yang lebih dekat dari sekadar sahabat dan bisa saling bertukar pikiran mencoba make sense dunia yang makin ajaib ini. Permintaan ini yang gue selipkan di malam2 panjang Ramadhan kemarin.. dan selanjutnya seperti ada invisible hand yang bekerja menaruh kepingan-kepingan puzzle di tempatnya.

Lebih spesial lagi karena dia ini seseorang yang sangat tidak disangka2. I mean, if I’m a gambler I won’t put my money because it will be against all odds. Ketika cerita berlanjut, gue masih terus bertanya “kok bisa?” Tapi, apa sih yang gak mungkin? Yang terjadi adalah gue memutuskan untuk berani bertanggung jawab atas perasaan itu. She pushed all the right buttons. She just wowed me with her sense of purpose, this vibrant energy to grow, her humble intellect , and the right amount of witty sense of humour that brightens things up. Hebatnya, semua gue rasakan tanpa bertemu muka sama sekali (hingga posting ini ditulis).

Nah karena sudah 2 paragraf, gue ingin kembali ke topik kenapa posting ini ditulis ๐Ÿ™‚ Hal penting yang terus gue ingatkan ke diri sendiri adalah tahun ini dengan segala keajaibannya akan segera berakhir dan satu pelajaran hidup yang selalu gue pelihara adalah mencegah diri untuk dwell on something, baik untuk hal baik atau buruk. Ada keharusan untuk mendidik diri kita sendiri untuk siap menghadapi perubahan dan punya fleksibilitas untuk segera well-adjusted dengan tantangan baru. Seriusnya masalah ini untuk seorang lulusan luar negeri yang kembali ke negara asalnya bahkan sampai perlu dibahas khusus di CMU Going Home Guide. Bagaimana mengelola tahapan-tahapan reverse cultural shock yang mungkin melibatkan depresi, alienasi, general despise towards home country, dan reverse homesickness.

Gue segera akan kembali ke Jakarta dengan segala rutinitas dan dinamikanya yang seingat gue sih seperti blackhole yang mengisap seluruh cahaya dari hidup loe (lebay). Kantor juga pasti sudah banyak berubah dan penuh wajah baru yang akan jadi rekan2 setim ke depan. Ekspektasi kualitas pekerjaan dari seorang lulusan CMU juga pasti sedikit banyak berpengaruh pada demand yang akan gue hadapi. Bahkan keberanian untuk bertanggung jawab terhadap cinta yang gue sempat singgung di atas juga akan membawa kompleksitas tersendiri dalam hal bagaimana gue harus menjalani proses berikutnya sambil memastikan tetap align dengan kehendak-Nya. Another ball you have to juggle, kata si dia.

Menakutkan tapi tentu saja bukan yang pertama kalinya gue hadapi dalam hidup. Gue suka menganalogikan perasaan in-between itu seperti perasaan saat berdiri di belakang garis start another distant run. Kita selalu berharap andai lebih siap ini dan itu. Pikiran ini menempel terus setelah kita mulai berlari dan sebenarnya malah menguras energi dan membuat setiap kilometer terasa lebih panjang. Padahal kalau kita pikir2, setiap garis start selalu hanya meminta kita mengeluarkan seluruh daya upaya yang kita punya dan tidak pernah lebih dari itu (silakan direnungkan) Seringkali yang terjadi adalah kita yang membuat batas yang mencegah daya upaya kita mencapai level “seluruh”. Kita akan selalu dihadapkan pada siklus mencapai satu garis finish untuk bertemu dengan garis start yang baru sepanjang hidup. Kecuali tentu saja kita lebih memilih untuk diam dan berhenti berlari.


The Edge

It doesnโ€™t have to be terrifying.
Sometimes itโ€™s simply curling your toes
over the end of the high dive,
bending your knees and lightly bouncing
up and down, as if your wings were fluttering.

Or it might be the moment when youโ€™re waiting
dawn-at the border โ€“
for the man in the blue uniform
to hand back your passport,
to say itโ€™s all right to leap
from the train to the platform.

And after the flying and the splash,
after you haul your bag up on your shoulder,
itโ€™s safe to say that before long
youโ€™ll come to the edge of something
and have to leap again.

Maybe itโ€™s someone you didnโ€™t see
by the pool, wearing a flowered bathing suit โ€“
maybe the love of your life.
or maybe itโ€™s a museum with one painting
that finally explains everything.

And even if death is waiting,
you can still love
the perfect fit of the doorknob
in your hand as you open the door.
You can still search for the immortal
painting and buy postcards of it
to send all over the world.

You can leap
and let the water hold you,
throwing one hand over the other,
hoisting yourself up
to dry your body in the sun.

You can lift your rucksack โ€“
the road rolling away before you โ€“
and walk on joyfully,
going forward, forever leaping,
loving the high dive as well as the bottom stair,
loving the held breath, loving the tired feet.

(Richard Jones, โ€˜The Edgeโ€™)

mPedigree : Contoh Sukses Inovasi dari “Pinggir”

Salah satu privelese yang gue rasakan selama di CMU adalah kesempatan untuk mengikuti kuliah tamu dari tokoh2 ternama di bidang IT atau public policy. Kali ini yang gue ingin tulis secara singkat adalah kuliah lewat Skype yang disampaikan Bright Simmons, pendiri mPedigree.

Bright Simmons berasal dari Ghana dan sudah lama berkecimpung sebagai aktivis berbagai lembaga kemanusiaan di sana. Salah satu masalah serius yang menjadi perhatiaannya adalah luas dan bebasnya peredaran obat palsu di pasar. Dibuat dengan kandungan dan melalui proses yang asal, obat palsu ini sangat sulit dibedakan dari yang asli karena bentuk dan kemasannya sangat berhasil meniru penampilan obat asli. Tentu saja ini menjadi masalah serius yang menyangkut hajat hidup orang banyak karena obat yang banyak dipalsukan biasanya adalah obat yang sangat penting dalam menangani permasalahan kesehatan di Afrika seperti obat malaria dan obat demam untuk anak2.

Setelah melakukan riset tentang peredaran obat palsu ini, Bright makin khawatir karena ternyata ini bukan hanya jadi masalah di Ghana, tapi juga terjadi dalam skala besar di negara-negara berkembang di seluruh dunia. Walaupun perusahaan farmasi dan pemerintah juga menyadari bahaya peredaran obat palsu ini, tapi usaha pencegahannya tidak efektif karena hanya berupa razia dan pemusnahan yang sangat tergantung pada inisiatif aparat pemerintah. Di negara-negara berkembang di mana korupsi merajalela, usaha pencegahan macam ini biasanya dilakukan lebih sebagai lip service dan tidak pernah membongkar jaringan obat palsu sampai ke akarnya.

Bright paham bahwa cara efektif untuk menyingkirkan obat palsu dari pasar harus melibatkan partisipasi konsumen, ini satu bagian. Bagian lain dari ide Bright muncul dari pengamatan dia atas sangat luasnya penggunaan ponsel di Ghana, yang bahkan sampai menembus ke pedesaaan. Setelah memikirkan dua bagian ini, Bright akhirnya sampai pada ide yang membawanya mendirikan mPedigree. Idenya sederhana, Bright ingin perusahaan manufaktur obat2an mencantumkan kode rahasia di kemasan obat. Kode kriptografis ini dicetak di kemasan dan dilindungi dengan segel scratch supaya tetap rahasia sampai tangan konsumen. Kemudian, konsumen dapat mengecek kode itu lewat SMS ke nomor bebas pulsa yang tersedia lewat kerjasama dengan operator. Sistem mPedigree akan melakukan verifikasi dan membalas dengan SMS yang berisi info tentang palsu/tidaknya obat lengkap juga dengan tanggal produksi dan kadaluwarsa.

Untuk memastikan idenya efektif, Bright kemudian dengan gigih melobi dukungan dari berbagai pihak seperti pemerintah, perusahaan farmasi, operator telco, dan jaringan distribusi obat. Dengan model ini, mPedigree berhasil menciptakan solusi win-win untuk semua pihak yang terlibat dan menciptakan proses alami yang mengusir obat palsu dari pasaran. Setelah sukses di Ghana, Bright giat berusaha menjalin kerjasama dengan berbagai LSM di negara berkembang lainnya untuk dapat menjalankan model mPedigree di negara-negara tersebut. Potensi luar biasa dari mPedigree untuk keselamatan hidup orang banyak, kesederhanaan teknologi, dan model bisnisnya yang akomodatif membuat mPedigree sukses mendapatkan hadiah USD500 ribu dari kompetisi Global Security Challenge.

Karena sudah lama tertarik dengan topik innovation from the edge dan technology appropriation, di akhir sesi gue bertanya ke Bright tentang bagaimana melembagakan proses kreatif seperti yang dialaminya lewat mPedigree sehingga bisa melahirkan pemanfaatan teknologi yang tepat guna untuk suatu masalah yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Jawaban Bright menurut gue sangat inspiratif sekaligus actionable. Menurut dia inti dari pola pikir dan pola tindak seorang social entrepreneur adalah: (1) Kepekaan akan masalah-masalah berdampak luas yang dihadapi secara riil oleh masyarakat. Bright biasa melatih dirinya dengan membuat list masalah sekaligus daftar 5-whys yg membawanya menemukan akar masalah tersebut, (2) Karena LSM tidak memiliki akses ke sumberdaya seperti perusahaan komersial, Bright membiasakan diri dan rekan2nya untuk brainstorm solusi suatu masalah dengan sumberdaya yang dapat diaksesnya. Seperti MacGyver yang menggunakan apa yang dapat dijangkaunya, Bright memaksa otaknya mencari solusi “tiada rotan akar pun jadi”. (3) Untuk mendukung ide brilian butuh model bisnis yang tak kalah briliannya. Bright berusaha mengidentifikasi semua stakeholders yang mungkin terkena dampak idenya, dan kemudian berusaha menghasilkan model bisnis yang memberi insentif kepada semua pihak yang terlibat sehingga mereka mendukung atau setidaknya tidak menghambat.

It just blew my mind. Thanks Bright, for your inspiration

I Went Down Under! Part 5 – Being a Moslem

Sekitar sejam sebelum menulis ini, gue kok tiba2 sedih sendiri. Sambil menunggu apple pie di microwave dan mengaduk secangkir teh manis, gue ngerasa kalau lagi seperti ini rasanya kangen banget keluarga di Depok. Mana entah kenapa kok kampus rasanya sepi sekali…*sigh*

Tapi, tak lama setelah gue menyeruput teh dan memotong pie, satu per satu mahluk mulai bermunculan di student lounge. Gak lama Malaysia, Indonesia, Pakistan, Srilanka, Jerman, n Amrik berbagi saat berbuka puasa sambil terlibat obrolan seru tentang….babi ๐Ÿ˜›

Di antara tawa, gue jadi tersenyum sendiri mengingat betapa beberapa menit sebelumnya gue merasa kesepian. Penggalan2 cerita seperti ini paling pas menggambarkan pengalaman menjadi Islam di negeri asing. Kadang merasakan kesendirian karena menjadi minoritas, tapi sering malah itu mengekspos diri ke berbagai pengalaman mengasyikkan.

Ramadhan ini contohnya, menurut gue justru jadi menjadi salah satu Ramadhan terindah yang pernah gue rasakan. Mungkin karena gue punya waktu lebih luang dan gak terbebani kerjaan kantor ? Hmm rasanya justru bukan itu…yang lebih tepat mungkin karena kerinduan akibat “jarak” membuat gue lebih bersemangat untuk mendekat. Menyetir sendirian di tengah malam untuk menjemput teman itikaf di masjid untuk merasakan nikmatnya tahajud panjang bersama ikhwah dari berbagai bangsa, benar-benar terasa nyess di hati.

Belum lagi kesempatan untuk terpaksa jadi ambassador of faith. Kadang disuguhi berbagai pertanyaan tentang Islam saat ngobrol dengan teman-teman yang berbeda latar belakang. Gue jujur aja lebih menikmati obrolan dengan teman yang ateis daripada dengan rekan yang sama2 Islam tapi sangat tertarik membahas ide2 redefinisi, desakralisasi, dll

Kalau suatu saat loe punya kesempatan untuk merasakan ber-Islam di negeri asing, di saat itulah loe punya kesempatan membuktikan bahwa agama itu panggilan yang memerlukan diri kita melakukan aksi menjawab panggilan itu. Mungkin selama ini kita menunjukkan Islam untuk kompromi dengan lingkungan kita yang mayoritas Islam. Tapi, di tengah masyarakat yang indifference terhadap identitas keagamaan, bahkan mungkin menganggap beberapa simbol identitas agama sebagai sesuatu yangconfronting. Di situlah konsistensi loe diuji. Bersegerakah loe menjawab panggilan itu?

Belajar dari Randy Pausch

Video Last Lecture kan populer tahun 2007, kenapa baru nulis tentang Randy sekarang? Jujur aja, waktu itu gue gak terlalu merhatiin kehebohan Last Lecture. Gue kira waktu itu it’s just another The Secret, dan gue gak suka dengan motivator atau self development gurus. Hikmah itu menurut gue gak berbentuk untaian kata mutiara dengan jargon2 artifisial. Gue justru lebih sering merasakan bagaimana Allah slaps me on the face lewat kata-kata yang gue lihat di jendela chat, buku, lagu, kadang malahan dialog film. It feels like a slap karena entah bagaimana bisa gue relasikan dengan pertanyaan yang sedang mengganjal saat itu di hati gue.

And that’s exactly how I knew Randy Pausch. Setelah tahu gue dapat beasiswa Depkominfo, sebenarnya gue bingung banget karena tak lama setelah itu ibu sakit parah dan butuh biaya besar. Kalau gue pergi berarti kan harus meninggalkan kemapanan kerja dan yang lebih berat lagi, keluarga. Tapi kemudian, sewaktu mencari informasti tentang CMU, gue menemukan video Randy Pausch di YouTube. Bukan Last Lecture, tapi rekaman graduation speech yang Randy berikan ke wisudawan CMU tahun 2008. Di video itu Randy sedang menjalani bulan kesembilannya sejak dia divonis dokter hanya akan hidup antara tiga sampai enam bulan. Dan gue gak akan pernah lupa apa yang dia pesankan ke para wisudawan, “I assure you I’ve done a lot of really stupid things, and none of them bother me. All the mistakes, and all the dopey things, and all the times I was embarrassed โ€” they don’t matter. What matters is that I can kind of look back and say: pretty much any chance I had to do something cool I tried to grab for it โ€” and that’s where my solace comes from.”

Saat itulah gue bertekad untuk selalu memilih untuk melakukan something cool setiap ada kesempatan. Untuk ngga pernah takut memilih untuk mengikuti passion. Seperti kemudian Randy melanjutkan, “We don’t beat the reaper by living longer, but by living well, and living fully โ€” for the reaper will come for all of us. The question is: what do we do between the time we’re born and the time he shows up.”

Bukan sembarang passion tentunya. “That passion will be grounded in people. It will be grounded in the relationships you have with people and what they think of you when your time comes.” Dan melihat bagaimana di video itu, begitu banyak orang tersentuh serta bagaimana Randy mengakhiri pidatonya dengan ciuman mesra kemudian menggendong istrinya, gue tahu bahwa di hidupnya yang relatif singkat Randy telah meninggalkan warisan luar biasa untuk orang-orang di sekitarnya.

Sekarang setelah gue menjadi mahasiswa CMU, gue jadi makin tahu orang seperti apa Randy Pausch. Bagaimana dia menciptakan Alice, bagaimana dia menyuruh dosen junior yang ingin tahu rahasia cepatnya dia menjadi profesor untuk datang ke kantornya jam 10 malam di hari Jumat karena dia masih bekerja jam segitu. Tidak ada contoh yang lebih baik untuk menggambarkan nilai-nilai CMU selain pribadi Randy Pausch. Wit, perseverance, dan courage untuk mengejar mimpi dan memberi manfaat membuat semua keluarga CMU belajar banyak bahkan setelah dia meninggal.

It’s not about how to achieve your dreams. It’s about how to lead your life. If you lead your life the right way, the karma will take care of itself. The dreams will come to you~ Randy Pausch, 1960-2008

Two Semesters…Done!

Kalian salah kalo mengira penulis blog ini sudah tak pernah menulis lagi ๐Ÿ˜› Tak terasa gue sudah menempuh 2/3 perjalanan di CMU dengan berakhirnya semester kedua. Seperti yang gue expect, semester kedua jauh lebih menarik dan menantang dari semester pertama. Berat memang ketika dijalani, tapi gue puas karena bisa belajar banyak.

Satu hal yang terasa di semester ini adalah dominannya mata kuliah yang memberikan tugas akhir dalam bentuk proyek kelompok. Mata kuliah E-Business Technology and Management dan Entrepreneurship termasuk dalam kategori ini. Sementara Information System Project memang berupa proyek IT yang dikerjakan untuk klien di luar kampus. Semua mata kuliah ini memberi kesempatan bagus buat gue untuk merasakan dinamika bekerja sama dengan personel multibangsa. Dan yang namanya dinamika memang benar-benar penuh warna. Gue merasakan bagaimana sebagai seseorang dengan pengalaman kerja cukup lama di team based engagement model EY, gue bisa lebih berperan dalam mengelola tim.

Pelajaran menarik lainnya dari mata kuliah EBTM dan Entrepreneurship adalah exposure ke dunia startup di Adelaide. Ini karena memang proyek akhir dua mata kuliah ini menuntut mahasiswa untuk membuat business plan dan proof of concept untuk sebuah ide startup. Beberapa kali dosen mengundang wirausaha IT lokal untuk berbicara sebagai dosen tamu. Dalam satu kesempatan, dosen itu juga mengajak kelas untuk mengunjungi inkubator bisnis biotechnology milik Pemda South Australia. Mmmm yang paling mengusik gue adalah kenyataan bahwa sepertinya di Adelaide, hubungan antara riset kampus, industri, dan pemerintah sepertinya natural sekali. Kerjasama produktif ini menghasilkan banyak startup2 industri padat ilmu seperti IT, Biotech, Microelectronics yang gue liat secara bisnis sangat sustainable, sekaligus berkontribusi cukup lumayan untuk ekonomi South Australia. Bagaimana pola hubungan seperti ini bisa dibawa ke Indonesia ? (seperti gue alami dengan rekan Mirta Amalia, diskusi tentang pertanyaan ini membutuhkan pembahasan panjang)

Gue juga ingin ngomong lebih banyak tentang mata kuliah IS Project. Seperti yang sempat gue singgung, mata kuliah ini adalah kesempatan bagi sekelompok mahasiswa CMU untuk mengaplikasikan ilmunya untuk masalah dunia nyata. Melalui networknya di industri, pemerintah, atau NGO, biasanya dosen CMU membuat ruang lingkup proyek yang kemudian ditawarkan sebagai IS Project yang harus diselesaikan dalam waktu 12 minggu.

Proyek yang kemarin tim gue kerjakan adalah IT Strategy Development Facilitation untuk sebuah NGO lokal di Adelaide. Yup, ngeliat judulnya aja pasti udah pada tahu kalau proyek ini gue banget :). Gue bersyukur karena bisa mengerjakan proyek yang sesuai dengan spesialisasi dan pengalaman gue. Tentu saja banyak adjusment yang harus gue lakukan untuk klien IS Project. Tidak seperti biasanya, klien gue kali ini adalah NGO lokal yang ingin dapat masukan tentang strategi IT yang bisa mendukung bisnis mereka di masa depan. Satu hal yang gue akan selalu ingat dari pengalaman proyek ini adalah betapa NGO seperti klien gue sangat menghargai bantuan keahlian khusus yang mereka tidak miliki. Mungkin karena buat mereka yang sumber dayanya terbatas akses ke keahlian lebih sulit jika dibandingkan perusahaan2 besar. Gue jadi terpikir untuk bisa merasakan kerja seperti ini lagi di Indonesia, mengajak teman2 menyisihkan waktu untuk proyek pro bono untuk lembaga non profit. Percaya deh, ada kepuasan tersendiri bisa memberi manfaat untuk lembaga-lembaga yang berjuang ngebenerin satu masalah di dunia.

Mata kuliah lainnya yang gue ambil semester ini adalah Internet Tchnologies, yang memaksa gue mengatasi rasa takut akan coding ๐Ÿ˜› Kemudian Strategic Presentation Skills, yang dosennya guru vokal newscaster stasiun ABC, dan membuat gue untuk pertama kalinya belajar presentasi dari sisi vokal selain sisi konten. Selain dua itu, yang terakhir adalah Heuristic Problem Solving, mata kuliah unik yang menggunakan metode Puzzle Based Learning untuk mengajarkan problem solving.

It’s been a tremendous semester. Kalau melihat jadwal, sepertinya semester depan akan lebih menarik lagi dari semester ini. Yeaa, one more to go!

One Semester…Done !

Setelah 4 bulan yang terasa singkat, akhirnya gue menyelesaikan semester pertama gue di CMU. Untuk mereka yang penasaran sebenarnya course apa saja yang jadi bagian program MSIT, gue ingin menceritakan apa yang gue pelajari selama 1 semester.

Mata kuliah pertama adalah Telecommunication Management, ini adalah satu dari mata kuliah wajib MSIT yang ditawarkan di semester ini selain Database Management dan OO Programming with Java. Sebelum kuliah, tadinya gue berpikir ini mata kuliah tentang jaringan komputer, untungnya ternyata bukan. Telecom meliputi semua teknologi telekomunikasi yang saat ini digunakan, termasuk aspek bisnis dan kebijakannya. Untuk seseorang dengan latar belakang bukan dari teknik elektro telekomunikasi seperti gue, mata kuliah ini mengajarkan banyak hal baru tanpa terlalu dalam mempelajari aspek teknis yang terlalu njelimet. Kuliah menjadi semakin menarik dengan hadirnya dosen tamu seperti CTO Telstra dan perencana kebijakan telekomunikasi pemerintah South Australia.

Mata kuliah berikutnya adalah Strategic Planning and Implementation, yang menjadi mata kuliah favorit gue semester ini. Diajarkan secara teleconference oleh seorang ahli di kampus Pittsburgh, mata kuliah ini mengulas langkah demi langkah dalam menyusun, menyampaikan, dan “mengawal” inisiatif strategis di dunia bisnis. Untuk membuat mahasiswa merasakan pengalaman membuat menyusung inisiatif strategis, sebuah tugas untuk menyusun rencana strategis sebuah perusahaan ERP harus dikumpulkan di akhir kuliah. Oh ya, perusahaan ERPnya memang betul-betul ada, dan kebetulan si dosen memang pernah menjadi konsultan strategi untuk perusahaan itu.

Mata kuliah ketiga sebenarnya terdiri dari dua mata kuliah, tapi menurut gue sebenarnya dalam satu paket. Financial Accounting dan Principles of Finance Management mungkin menimbulkan pertanyaan kenapa diajarkan untuk program MSIT. Kenyataannya mata kuliah ini dianggap sangat penting sehingga menjadi mata kuliah wajib bagi program MSIT di Pittsburgh, tapi ditawarkan sebagai mata kuliah pilihan di Adelaide. Setelah selesai memang terasa pentingnya mata kuliah ini untuk mahasiswa CMU yang hampir semuanya punya latar belakang teknis. Dibawakan oleh seorang dosen jenaka yang jadi favorit mahasiswa CMU di dua benua, mata kuliah ini membuka mata mahasiswa tentang pentingnya kemampuan di aspek lain dalam bisnis. Kemampuan penting untuk setidaknya tahu bagaimana perusahaan mengelola uang. Mata kuliah ini juga termasuk mata kuliah dengan tugas paling sulit untuk mahasiswa MSIT karena harus memeriksa laporan keuangan, membuat financial budget dan menghitung berbagai parameter finansial.

Yang tak kalah menarik adalah mata kuliah Economic Analysis. Lagi2 terdengar janggal tapi juga menjadi mata kuliah yang wajib di kampus Pittsburgh.Sejatinya mata kuliah ini adalah mata kuliah microeconomics lengkap dengan semua grafik supply vs demand yang bisa dibayangkan. Tapi, dosennya sukses mengemas sedemikian rupa sehingga mata kuliah ini diharapkan membekali mahasiswanya dengan teori microeconomics dalam mengambil keputusan dalam dunia bisnis

Mata kuliah terakhir adalah Database Management, mmm yang gak perlu berpanjang-panjang adalah mata kuliah Database Management ๐Ÿ™‚

Empat bulan terasa sangat cepat, karena padatnya jadwal kuliah dan tugas yang diberikan. Itu juga salah satu alasan kenapa blog ini akhirnya terbengkalai. Tapi, pengalaman yang gue dapat rasanya sebanding dengan kerja keras yang harus gue lakukan. Great friends, great lecturers, great stories. Can’t wait for the next semester.

Buku Pertama, Sukses Dapat Kerja Jalur Online

Setiap kali gue ke toko buku, gue selalu berkata pada diri gue bahwa suatu hari gue akan melihat nama gue sendiri di salah satu buku yang terpajang di rak. Alhamdulillah, sekarang hal itu sudah tercapai dengan terbitnya buku pertama gue. Bukunya berjudul Sukses Cari Kerja Jalur Online, dan diterbitkan oleh Gagasmedia.

Prosesnya sendiri cukup panjang dan dimulai sekitar 6 bulan lalu. Kebetulan gue kenal dengan salah satu editor di Gagasmedia dan dia memberi info tentang kesempatan yang ada di Gagasmedia untuk naskah non fiksi. Gue kemudian mengirimkan beberapa topik IT populer yang gue minati. Resita (nama editor gue) memutuskan bahwa naskah gue tentang memanfaatkan Internet dalam proses job hunting cukup prospektif untuk diterbitkan. Dari situ, mulailah proses penulisan buku pertama gue. Dari awal sampai akhir, gue beruntung karena editor gue sangat banyak memberi bantuan.

Kenapa tentang job hunting ? Karena menurut gue, proses ini adalah proses yang sangat penting di awal, bahkan sepanjang karir kita. Gue sering melihat bagaimana fresh graduate hanya fokus pada satu dimensi job hunting, yaitu mengirimkan CV dan surat lamaran sebanyak2nya. Padahal menurut gue, riset tentang perusahaan yang kita incar, membangun personal network dan memoles persona kita adalah hal2 yang tak kalah pentingnya. Gue juga melihat bahwa Internet menawarkan pendekatan baru dalam berbagai aspek job hunting, dan masih banyak pencari kerja yang belum tahu bagaimana memanfaatkannya medium online itu sebagai sarana ampuh.

Setelah ide dan outlinenya final, mulailah gue menulis bab demi bab. Waktu di Bandung gue manfaatkan semaksimal mungkin, karena di sana gue masih punya cukup energi untuk menulis sepulang dari kantor. Hal paling sulit adalah mengubah gaya tutur gue ke sesuatu yang disebut editor gue “seperti teman yang memberi masukan ke seorang Gen-Y in their 20s”. Editor gue kemudian memberi contoh gaya tutur majalah Cita Cinta, sesuatu yang amat jauh dengan gaya tutur gue selama ini.

Setelah beberapa writer’s block dan naskah yang bolak balik penuh track changes, gue mendapat kabar gembira bahwa buku akhirnya diterbitkan. Sayangnya, buku gue terbit setelah gue di Adelaide, membuat gue tidak dapat terlibat dalam proses pemasarannya. Gue berharap buku pertama gue memenuhi tujuan gue sewaktu menulisnya, memberi manfaat sebanyak2nya untuk para pencari kerja di luar sana.

I’m Going Down Under! Part 4 – The Class

Seminggu ini gue mengikuti program orientasi di CMU, dan jadi kesempatan bagus untuk mengenal teman-teman mahasiswa dan staf pengajar di CMU.

Sebelumnya gue memang sudah memperkirakan bahwa kelasnya akan menjadi kelas internasional, tapi begitu saling berkenalan gue cukup kaget juga dengan beragamnya latar belakang teman-teman gue. Dari negara asal saja, ini kali pertama gue berkenalan dengan orang dari Srilanka, Pakistan, Kolombia, Peru, Kostarika, Mexico, Argentina, Vanuatu, dan Uganda. Setiap orang membawa dimensi keragaman lain dari sisi latar belakang pendidikan, minat, dan pengalaman kerja. Setiap menyempatkan diri mengobrol dengan salah satu mereka, selalu ada cerita menarik yang bisa dinikmati. Lebih asyik lagi karena CMU kampus kecil yang hanya terdiri dua jurusan, gue punya kesempatan untuk mengenal semuanya.

Salah satu kesamaan yang mungkin terasa adalah hampir semua mahasiswa CMU adalah penerima beasiswa dan berasal dari negara dunia ketiga. Masing-masing dari teman gue pasti punya sesuatu yang membuat mereka diterima di CMU dan mendapat beasiswa. Jadi, gue sudah membayangkan akan berkompetisi di level yang tinggi sepanjang masa kuliah nanti. Walaupun begitu dari seminggu kemarin terasa juga bagaimana rasanya sih di tengah kesibukan kampus, kami perlahan akan membentuk sebuah keluarga yang hangat.

Keragaman dan kehangatan juga sangat terasa dari pengajar dan staf yang ada di kampus. Di satu sisi mereka tak henti2nya mengingatkan tentang akan beratnya tantangan akademis CMU, di sisi lain mereka juga sangat antusias dalam menawarkan bantuan dalam bentuk apapun. Nah satu hal yang perlu gue latih adalah bisa lebih terbuka dan mengambil inisiatif dalam berkomunikasi dengan dosen. Kalau gue liat teman2 gue lebih terbiasa untuk langsung mendatangi dosen, sekadar chitchat atau bertanya sesuatu,

Oh ya ngomong2 komunikasi. Satu hal yang gue rasakan kurang dari mahasiswa Indonesia termasuk gue adalah kemampuan bahasa Inggris. Mungkin karena pengajaran bahasa Inggris di negara kita tidak efektif dan setelah lulus dari jenjang S1pun mahasiswa Indonesia tidak mampu untuk berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan rileks. Banyak yang datang ke Australia harus menjalani kursus sampai 20 minggu terlebih dahulu karena kemampuan bahasa In ggrisnya tidak memenuhi standar universitas. Buat gue yang jadi masalah adalah kurangnya gue dalam berlatih berbicara bahasa Inggris. Ini membuat gue agak lambat dalam mengungkapkan apa yang ada di pikiran gue. Ngga ada cara lain, gue harus memaksakan diri untuk sebanyak mungkin mengobrol dalam bahasa Inggris dalam berbagai situasi.