Pendidikan Alternatif: Upaya Menghapus Stigma

Untuk angkutan pulang kerja, gue lebih sering memilih untuk mengawali dengan naik M604 sebelum kemudian naik angkot jurusan Depok dari Pasar Minggu. Naik angkutan ekonomi berarti terekspos dengan sisi-sisi khas ibukota, yang sering kali mengusik nurani kita. Di perempatan Pancoran misalnya, M604 menjadi “langganan” seorang pengamen cilik. Bocah perempuan itu mungkin masih berusia TK, rambut pendek dan kulitnya memperlihatkan warna khas terbakar matahari, sementara beberapa gelang mainan di tangannya menunjukkan minat jamak anak perempuan seusianya pada aksesori warna-warni. Gadis cilik itu selalu menyanyikan lagu yang sama, lagu Selingkuh(?)-nya Rossa dinyanyikan terengah-engah dengan suara cadel, sementara kecrekan tutup botol mengiringi sekenanya. Pada satu kesempatan saat lampu merah, kenek M604 yang kunaiki menaruh bocah itu di atas kap mesin metromini, setelah itu dengan berteriak si kenek terus menyuruh bocah itu mengeraskan nyanyiannya, dan dalam sekian detik lampu merah itu menjelmalah metromini itu menjadi sebuah pentas. Si bocah di atas panggung kap mesin, lagu Rossa, seru semangat si kenek, membentuk kenangan yang selamanya tak akan terlupakan.

“Anak, demi pengembangan sepenuhnya dan keharmonisan dari kepribadiannyam harus tumbuh dalam lingkungan keluarga, dalam iklim kebahagiaan, cinta kasih dan pengertian.” Demikian kutipan Konvensi Hak Anak PBB. Demikian bunyinya, sementara bocah perempuan tadi naik turun metromini ketika bocah sebayanya mungkin sedang mengerjakan PR kosa kata bahasa Inggris sambil menunggu kepulangan ayahnya yang manajer di sebuah mnc. Episode dengan si kenek tadi, yang seakan membuat semua hidup gue sampai saat itu tidak berarti, mungkin hanya bagian rutin dari keseharian si gadis cilik. Keseharian bocah itu dan mungkin sekian banyak anak-anak pinggiran lainnya dihabiskan dalam bentuk perjuangan mempertahankan hidup dan mungkin hidup keluarganya.

Alih-alih cinta kasih dan pengertian, yang harus mereka jalani adalah proses dehumanisasi. Mereka marjinal dalam arti benar-benar terpinggirkan sebagai manusia. Berebut kue ekonomi yang tak lebih dari receh, tinggal di pemukiman kumuh yang jauh dari layak, keluarga yang akrab dengan kekerasan domestik, serta lingkungan yang rentan bius eskapis seperti seks bebas dan narkoba. Mereka juga selalu kalah dalam pertarungan dengan struktur vertikal: akses terbatas ke hak pendidikan dan kesehatan, korban politik penggusuran pemda, dan stigma negatif sebagai sampah masyarakat dan penyebab kesemrawutan.

Apakah itu memang suratan mereka ? Akankah mereka sampai bergenerasi sesudahnya harus tetap berada di dalam pengap, suram, dan serba “tanpa” ? Apakah mereka juga tidak berhak atas secercah harapan bahwa suatu saat keadaan akan lebih baik ?

Pertanyaan-pertanyaan tersebutlah yang mendorong Ignatius Sandyawan Sunardi (Mas Sandy) untuk terjun total dalam usaha menyediakan pendidikan alternatif bagi anak-anak pinggiran. Sebuah usaha yang kemudian dia bagi dalam buku Melawan Stigma Melalui Pendidikan Alternatif, bacaan gue minggu lalu.

Disebut pendidikan alternatif karena memang Mas Sandy tidak berusaha menghadirkan pendidikan formal berkurikulum Depdiknas di sanggar pinggir Ciliwungnya. Pendidikan formal justru dinilai Mas Sandy tak akan pernah menjawab masalah anak-anak pinggiran karena tidak membebaskan dan tidak relevan dengan kondisi sehari-hari yang dihadapi oleh anak pinggiran. Karena itu, melalui sanggar yang dirintisnya Mas Sandy lebih menitikberatkan pendidikan yang melibatkan seluruh komponen masyarakat di sekitar sanggar dan bersifat problem posing education dimana “setiap orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah”. Pendidikan yang lebih mengedepankan pendampingan, tidak hanya pendampingan pada anak dan remaja didik, tapi juga pendampingan pada orang tua, komunitas, dan lingkungan tempat mereka berakar. Tidak ada gunanya berusaha memperbaiki kondisi anak dan remaja pinggiran tanpa disertai usaha untuk memperbaiki ruang hidup mereka.

Bicara pendidikan sebagai suatu proses mengubah manusia tentunya tidak lengkap tanpa membicarakan karakter manusia macam apa yang ingin dihasilkan. Beberapa karakter utama yang coba dibentuk dalam pendidikan alternatif anak pinggiran adalah merdeka, mandiri, memiliki solidaritas sosial pada sesama, cinta lingkungan hidup, serta cinta tanah air dan bangsa. Merdeka disebut pertama karena Mas Sandy ingin peserta didiknya punya kesadaran atas konteks ketidakadilan, penindasan sistemik, dan ketidakadilan struktural yang sedang mereka alami sebagai bagian dari masyarakat pinggiran.

Untuk mengawal tercapainya visi pendidikan alternatif tersebut, Mas Sandy merumuskan beberapa prinsip pendidikan alternatif: hidup adalah rahmat, alam adalah sahabat, belajar di mana saja-dari siapa saja, aku ingin tahu, mandiri dan kreatif, pakai kacamata anak, aku punya hak asasi, dan terbuka untuk partisipasi. Dengan prinsip-prinsip tersebut Mas Sandy merancang kurikulum pendidikan alternatif yang sarat dengan kegiatan-kegiatan seperti gelar wacana, riset aksi partisipatoris, olahraga, manajemen organisasi swadaya, workshop keterampilan terapan, dan seni budaya.

Di akhir bukunya, Mas Sandy menyempatkan diri untuk berbagi kebahagiaan melihat kemajuan anak didiknya. Anak-anak yang dulu cenderung tertutup, apatis, kasar, dan fatalis kini terlihat lebih pede, kritis, antusias, dan memiliki solidaritas tinggi pada sesamanya. Sanggar seadanya yang dulu dirintis Mas Sandy kini sudah menjadi bangunan 2 lantai yang sederhana namun artistik di pinggir Kali Ciwung di daerah Bukit Duri. Sesuai harapan Mas Sandy, sanggar itu sudah menjadi milik komunitas lingkungan itu, dengan berbagai kegiatan yang melibatkan partisipasi seluruh warga. Tak lupa Mas Sandy menyampaikan harapan agar buku yang ditulisnya dapat menjadi petunjuk bagi siapapun yang berkeinginan berbuat sesuatu untuk anak dan remaja marjinal. Semakin banyak yang peduli, semakin banyak yang berbuat, berarti semakin banyak anak dan remaja marjinal yang diselamatkan dari menjadi lost generationdi masa depan.

Oh ya, kenyataan bahwa latar belakang pendidikan seminari Mas Sandy, aktivitasnya sebagai anggota Serikat Yesus, tentu menimbulkan kilatan kekhawatiran di hati gue. Tapi, bagaimanapun dia telah menunjukkan etos luar biasa dalam menjalani perjuangan yang dipilihnya. Dan untuk hasil perjuangannya tak pelak kita harus memberi salut, tentu dengan tekad suatu waktu kita setidaknya dapat berbuat sepersekian dari apa yang sudah dia lakukan.

2 thoughts on “Pendidikan Alternatif: Upaya Menghapus Stigma

  1. ” kenyataan bahwa latar belakang pendidikan seminari Mas Sandy, aktivitasnya sebagai anggota Serikat Yesus, tentu menimbulkan kilatan kekhawatiran di hati gue ”

    sektarian amat…..

  2. Itu namanya gue punya iman dan izzah, Mr Ipang. Lagian tuh kalimat kan ada terusannya. Justru gue curiga loe yang sektarian karena berhenti baca di kalimat itu….jangan berasumsi, apalagi kalo belum kenal

Leave a comment